BogorInNews – Para pakar dan praktisi kesehatan menegaskan bahwa kekhawatiran bahaya Bisphenol A (BPA) pada galon guna ulang polikarbonat (PC) lebih banyak dipicu persaingan usaha ketimbang temuan ilmiah yang sahih. Hal ini menyusul hasil riset yang tidak pernah menemukan migrasi BPA dari galon ke air meskipun terjemur di bawah sinar matahari.
Pakar kesehatan masyarakat Universitas Muhammadiyah Hamka (Uhamka) Hermawan Saputra menuturkan, rasanya para insinyur di bidang pembuatan pengemasan ini yang berkaitan dengan pemahaman tentang PC atau PET sudah tuntas bahwa dalam pembuatan galon itu sebenarnya memiliki efek yang sangat minimum dan sudah direkomendasikan aman untuk menjadi alat kemas.
“Bahwa penggunaan galon berbahan PC atau galon guna ulang masih aman. Penggunaan kemasan pangan tersebut tidak akan bisa menyebabkan gangguan kesehatan seperti yang selama ini diisukan oleh pihak tertentu,” tutur Hermawan kepada wartawan pada Senin 8 September 2025.
Hermawan menjelaskan, kalau gangguan kesehatan yang difitnahkan selama ini terhadap galon guna ulang juga belum terbukti. Dia mengatakan, isu tersebut masih belum bisa dibuktikan secara faktual karena masih tidak ditemukan kasus.
“Belum ada penelitian atau hasil kajian yang berkaitan dengan itu. Jadi rasanya isu itu hoax,” jelas Hermawan yang merupakan Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) ini.
Sementara itu, dokter sekaligus influencer, Tirta Mandira Hudhi atau yang dikenal dokter Tirta menilai bahwa isu BPA yang terus digulirkan menimbulkan kecurigaan kalau memang narasi bahaya BPA dalam galon PC dimainkan oleh pihak tertentu untuk memonopoli pasar.
“Isu dipublikasikan untuk menakut-nakuti masyarakat agar beralih dari galon guna ulang ke galon sekali pakai yang bebas BPA,” jelasnya.
Tirta menilai, bahwa isu yang diungkapkan ke publik hanya memaparkan informasi permukaan atau sedikit sekali tentang bahaya BPA. Informasi disebarkan tanpa pernah mendalami misal ambang batas aman kandungan BPA yang dapat dikonsumsi dan ditoleransi oleh tubuh atau seberapa besar kandungan BPA yang dikatakan berbahaya.
“Begitu juga dengan aturan pelabelan BPA yang dia duga memberikan keuntungan bagi kelompok tertentu mengingat bahayanya pada galon PC masih kontroversial dan bisa diperdebatkan,” tuturnya.
Menurutnya, peluang itu terbuka karena BPOM tidak memberikan penjelasan detail dan fakta-fakta yang bisa dipertanggungjawabkan sebelum mengeluarkan kebijakan.
“Dugaan (pesanan) itu sangat terbuka. Karena kebijakan harus dikeluarkan berdasarkan riset mendalam serta bukti-bukti yang bisa dipertanggung jawabkan, bukan ujug-ujug ada kebijakan,” jelas Tirta.
Terpisah, persaingan usaha dalam pelabelan BPA juga sempat disinggung oleh Pakar Persaingan Usaha Universitas Sumatera Utara, Prof Ningrum Natasya Sirait. Dia mengatakan, isu mengenai bahaya BPA dalam kemasan tersebut masih terjadi pro kontra.
“Dari dunia kesehatan, isu ini kan masih pro kontra. Jadi, jangan dong itu dipaksakan menjadi beban para konsumen nantinya. Sebagai pakar hukum bisnis, saya hanya mempertanyakan regulasi pelabelan BPA itu sebenarnya untuk kepentingan siapa?,” tutur Ningrum.
Ningrum melihat bahwa regulasi pelabelan BPA ini ada unsur persaingan usaha. Menurutnya, kalau dari segi persaingan usaha, apapun yang menimbulkan biaya tentu akan menjadi beban suatu industri.
“Semua peraturan yang menimbulkan dampak pada meningkatnya biaya produksi seperti pelabelan BPA ini pasti berdampak pada konsumen dan itu perlu menjadi pertimbangan,” pungkasnya.
Diketahui, pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah memastikan keamanan pemakaian galon guna ulang sebagai kemasan pangan. Selain aman, galon guna ulang juga ramah lingkungan.(REK)