BogorInNews – Guru Besar Tetap Fakultas Teknologi Pertanian IPB University Prof. Dr. Eko Hari Purnomo membeberkan teknik pengawetan pangan secara fisik sebagai pendukung ketahanan pangan nasional. Menurutnya pengawetan pangan merupakan bagian penting yang tidak terpisahkan dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan.
“Di Indonesia, sebagai negara agraris dengan kekayaan hayati yang melimpah, kerusakan pascapanen dan kehilangan pangan (food loss) masih menjadi persoalan mendasar dan tantangan utama. Teknologi pengawetan pangan secara fisik, baik melalui pendekatan termal maupun non-termal, memiliki peran strategis dalam menjaga kestabilan, keterjangkauan dan keberlanjutan sistem pangan nasional,” ungkap Eko kepada wartawan pada Senin 16 Juni 2025.
Eko melanjutkan, pengawetan pangan umumnya dilakukan dengan penambahan bahan pengawet kimiawi yang mendapatkan stigma negatif dari masyarakat, karena kekhawatiran atas dampak negatif terhadap kesehatan. Teknologi pengawetan pangan secara fisik diharapkan mampu memberikan altenatif teknologi pengawetan yang minim dampak risiko kesehatan.
“Teknologi pengawetan pangan secara fisik dapat dikelompokan kedalam teknologi termal dan non-termal. Teknologi termal adalah teknologi pengawetan pangan dengan menggunakan panas sebagai media utama untuk menginkativasi mikroba yang menyebabkan kerusakan pada pangan. Sedangkan pada teknologi non-termal, proses inaktivasi mikroba dalam rangka meningkatkan umur simpan dan menjamin keamanan pangan dilakukan dengan menggunakan parameter non termal seperti tekanan, medan listrik, ataupun ozon,” tutur Eko.
Eko memaparkan, salah satu alasan utama berkembangnya teknologi pengawetan pangan secara fisik tanpa melibatkan aplikasi panas adalah karena tuntutan konsumen akan produk dengan mutu yang mendekati produk segarnya. Hal ini tidak lepas dari dampak aplikasi panas yang tidak hanya mampu menginkativasi mikroba akan tetapi juga menurunkan parameter mutu (sensori, fisik dan gizi) produk pangan.
“Proses termal merupakan proses pengawetan pangan secara fisik yang saat ini paling banyak diterapkan oleh industri. Secara umum proses termal untuk tujuan pengawetan pangan terdiri dari proses pasteurisasi dan sterilisasi. Tujuan utama dari proses pasteurisasi adalah untuk inaktivasi sel vegetatif mikroba patogen sedangkan pada proses sterilisai, aplikasi termal ditujukan untuk inakvasi spora mikroba pategen,” paparnya.
Ia menjelaskan, oleh karena spora mikroba memiliki tingkat ketahana panas yang lebih baik, maka proses sterilisasi dilakukan pada suhu yang lebih tinggi dari proses pasteurisasi. Berbagai studi di bidang proses termal menunjukkan bahwa dengan memahami pola inaktivasi mikroba dan kerusakan parameter mutu, maka proses termal masih dapat dioptimasi untuk memastikan keamanan produk dari pertumbuhan mikroba dengan tetap mempertahankan mutu akhir produknya.
“Studi tentang proses termal juga mengarah kepada upaya-upaya untuk menurunkan cacat produk yang timbul selama proses produksi. Salah satu penelitian yang kami lakukan di pabrik susu dalam kemasan botol plastik menunjukkan bahwa dengan melakukan pengontrolan keseimbangan tekanan kemasan selama proses sterilisasi mampu menurunkan persentasi produk cacat sebesar 2.9% yang nilainya setara dengan Rp 272 juta per bulan. Hasil ini bukan hanya berkontribusi terhadap peningkatan keuntungan perusahaan akan tetapi juga berperan dalam penurunan kehilangan pangan (food loss),” jelasnya.
Eko memberikan, pengembangan teknologi pengawetan fisik dewasa ini tidak hanya bertujuan utama untuk memperpanjang umur simpan, tetapi juga untuk mempertahankan nilai gizi, keamanan, dan keaslian produk pangan (food quality).
“Proses pengawetan secara fisik yang banyak kami kaji dalam beberapa 5 tahun terakhir diantaranya adalah pulsed electric field (PEF), high pressure processing (HPP), dan teknik ozonasi. Dengan pendekatan berbasis riset, pengembangan teknologi fisik pengawetan diharapkan menjadi solusi tepat guna yang dapat diterapkan secara luas, termasuk di sentra produksi pangan skala kecil hingga industri menengah,” bebernya.
Eko juga mengatakan, melalui penelitian eksperimental, analisis dan evaluasi mikrobiologis, serta pengembangan sistem pengawetan fisik skala laboratorium, riset dirinya dan tim dapat memberikan landasan ilmiah sekaligus aplikatif bagi penerapan teknologi pengawetan fisik secara non-termal (seperti PEF, HPP, dan ozonasi) di industri pangan Indonesia. Kajian literatur sistematis dan penelitian laboratorium yang dilakukan bersama tim menemukan bahwa teknologi PEF, HPP dan ozonasi terbukti mampu menginaktivasi mikroorganisme tanpa menurunkan mutu gizi dan sensoris produk secara signifikan, serta memiliki potensi aplikasi pada komoditas lokal nasional.
“Inovasi pengawetan pangan berbasis teknologi fisik bukan sekadar produk rekayasa (engineering), tetapi juga bentuk kontribusi ilmiah untuk mendukung dan memperkuat kedaulatan pangan, mengurangi kehilangan pangan, dan mendorong kemandirian teknologi pangan nasional. Peran akademisi dan peneliti muda sangat diharapkan menjadi penggerak utama dalam mewujudkan transformasi sistem pangan Indonesia yang lebih sehat, tangguh dan berdaya saing global,” tegasnya.
Eko menerangkan, tentunya pengembangan teknologi altenatif untuk pengawetan pangan sebagai bagian dari kontribusi terhadap ketahanan pangan nasional bukanya tanpa tantangan. Beberapa tantangan terkait pengawetan fisik (non-termal), misalnya ketersediaan komponen alat yang masih terbatas, workshop yang memiliki fasilitas dan teknisi kompeten pengembangan peralatan baru dan terbatasnya dana penelitian untuk mendukung penelitian dasar.
“Keterbatasan tersebut dapat kita atasi memalui kolaborasi saling menguntungkan antar pihak terkait baik pemerintah, industri, dan akademisi,” pungkasnya.